Mengenal Batik-Batik Keraton yang Hanya Dipakai Keluarga Kerajaan

Mengenal Batik-Batik Keraton yang Hanya Dipakai Keluarga Kerajaan : Kita tahu bahwa Indonesia sangat kaya akan budaya. Salah satunya tergambar dari jumlah batik yang dimiliki. Perlu Anda ketahui, setiap daerah di Indonesia memiliki batiknya sendiri dan dari batik itu Anda bisa melihat karakter daerah tersebut. Selain karakter, Anda juga bisa tahu sejarah atau makna dari motif tersebut.

Mengenal Batik-Batik Keraton yang Hanya Dipakai Keluarga Kerajaan

Bahkan, di Yogyakarta, motif batik memiliki “kasta”-nya sendiri di mana hanya orang-orang tertentu yang boleh mengenakan motif tersebut. Hal ini bisa Anda lihat di lingkungan keraton Yogyakarta.

Dikutip dari beberapa sumber, ada setidaknya 3 jenis batik yang bisa mengidentifikasikan subjek yang memakainya. Adalah batik Sri Sultan, GKR Hemas, dan batik Sunan Solo. Sebelumnya, Anda juga perlu tahu bahwa di Keraton Yogyakarta, ada yang namanya batik larangan Keraton Yogyakarta. Batik ini juga biasanya disebut dengan Awisan Dalem. Motif batik ini berkaitan penggunaannya dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta dan tidak semua orang boleh memakainya.
Keyakinan akan adanya kekuatan spiritual maupun makna filsafat yang terkandung dalam motif kain batik menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi adanya batik larangan di Yogyakarta. Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya.


Oleh karena itu beberapa motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan. Adapun yang termasuk batik larangan di Keraton Yogyakarta antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.

Setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu ke dalam batik larangan. Parang Rusak adalah motif pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1785. Saat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, batik larangan ditekankan pada motif huk dan kawung. Lebih jauh lagi, motif batik yang diperuntukkan bagi keluarga raja dan keturunannya di dalam lingkungan istana memiliki motif khusus tersendiri, misal motif batik lereng atau motif batik parang merupakan ciri khas dan motif batik Mataram.

Sejarah batik ini dimulai dari awal mula kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati. Setelah melakukan pemindahan pusat pemerintahan kerajaan dari daerah pajang ke daerah Mataram, Panembahan Senopati sering melakukan ritual yang bernama tapa brata di sepanjang daerah pesisir selatan, beliau menyisir daerah Pantai Parangkusuma ke daerah Dlepih Parang Gupita.

 Panembahan Senopati menelusuri pinggir tebing pegunungan seribu yang terlihat seperti pereng atau disebut juga tebing berbaris. Karena beliau menguasai seni, maka tempat pengembaraannya itu menjadi ilham untuk terciptanya karya seni batik dengan motif batik lereng atau parang. Karena yang membuat motif ini adalah sang pendiri Kerajaan Mataram, maka hak untuk menggunakan motif batik ini secara khusus hanya diberikan kepada keluarga kerjaan dan keturunannya.

Ditegaskan di sini bahwa rakyat biasa dilarang untuk memakai motif baju batik ini pada keseharian mereka. Motif ini dilarang untuk dipakai rakyat umum pada awalnya ditetapkan oleh Sri Sultan HB I di tahun 1785, ada beberapa motif yang menjadi hak khusus keluarga kerajaan yang beberapa diantaranya adalah motif batik parang rusak barong.

Penetapan yang terakhir terjadi pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang melakukan penetapan revisi larangan dengan membuat Pranatan Dalem Namanipun Pengangge Keprabon ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Penetapan ini dimuat dalam buku Rijksblad van Djokjakarta No 19 pada tahun 1972. Penetapan ini hingga kini tidak mengalami perubahan, tetapi menjadi semacam peraturan tidak tertulis dan sudah menjadi tradisi di dalam lingkungan keraton.

Kemudian, dalam keraton Solo, ada batik khas juga yang harus diperhatikan. Batik Parang dan Lereng bagi Keraton Surakarta sebagai ageman luhur, artinya hanya di pakai oleh Agemandhalem Sinuhun dan Putra Sentanadalem saja, bagi abdi menjadi larangan.

Parang ada yang berpendapat senjata tajam yang berupa parang atau sejenisnya. Pengertian ini disebut “wantah”. Berdasarkan pertimbangan data, kata parang adalah perubahan dari kata pereng atau pineggiran suatu tebing yang berbentuk lereng (diagonal). Mengambil gambaran pesisir pantai Jawa; Paranggupito, parangkusumo, dan Parangtritis. Sementara itu, untuk GKR Hemas, biasanya dia menggunakan batik motif ceplok parang gurdo yang adalah perpaduan motif parang dan ornamen gurdo. Batik beragam hias Parang adalah motif garis miring yang secara geometris tertata dan beraturan.

Kelompok Parang Rusak terdiri dari berbagai ukuran. Parang berarti perang melawan hawa nafsu jahat dan mempunyai makna agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya sehingga dapat berperilaku luhur. Motif ini terdiri dari ornamen Lidah api dan Blumbungan (Mlinjon). Pada masa dahulu, motif parang termasuk motif larangan yang hanya boleh dikenakan oleh kerabat Keraton. Sedangkan ornamen Gurdo melambangkan burung Garuda, sebagai salah satu hewan yang dianggap sakral dalam kebudayaan Jawa.

Terimakasih Semoga Bermanfaat ...

No comments:

Post a Comment

Instagram